Calendar

AYO DUKUNG UGOS

Login Form



Suami Biasa-biasa Saja Print E-mail

Kasus:
 
"Sebenarnya rumah tangga kami tidak terlalu bermasalah, tapi entah kenapa, rasanya lelah sekali setelah 12 tahun berumahtangga dan punya 2 anak lelaki. Opa suami keturunan Belanda totok, jadi sisa ketampanan suami pun masih berbekas.

Duabelas tahun menikah, saya merasa kurang bahagia. Bahkan, kini sedang pisah ranjang. Mungkinkah ini karena saya cemburu pada adik saya yang di usianya yang masih muda sudah memperoleh segalanya? Punya rumah mewah, istri cantik jelita, anak wanitanya manis­manis, dan selalu bepergian ke luar negeri. Ia memang tipe pekerja keras. Sementara suami saya hanya seorang sopir merangkap tukang jual minyak tanah dan petani. Ibu bisa bayangkan, bagaimana terbaliknya kedudukan suami dengan adik saya yang jadi BOS di perusahaannya (saya suka mikir, bahagiakah istrinya seandainya mempunyai suami yang hidup pas-pasan meski sangat suka membantu pekerjaan rumah tangga).
 
Suami saya pernah bekerja kantoran, tetapi suatu ketika ia punya masalah dengan kantor dan rumah tangga kami yang masih baru, sehingga lalu memutuskan kembali ke Manado, mencari kehidupan baru yang notabene jauh dari kebiasaannya selama kerja di Jakarta. Ia jadi peternak (memelihara ikan mas dan ikan mujair), terkadang jadi sopir, dan sekarang tengah berusaha menjadi petani cabai, tomat, kangkung, dan berjualan minyak tanah sebulan 2 kali. Penghasilannya tidak tetap, sehingga selalu saja meminta uang ke ibunya.

Kami menikah setelah pacaran selama 6 bulan. Sejak pandangan pertama, ia memang telah jatuh hati pada saya. Saya sendiri saat itu baru putus dari pacar saya, sehingga senang-senang saja ketika dikenalkan teman. Apalagi, suami, yang waktu itu baru saya kenal, sudah memberikan yang terbaik. Waktu itu usia saya 30 tahun, sarjana ekonomi, sementara suami 36 tahun, hanya sekolah sampai SMP. Apakah kesenjangan pendidikan itu yang membuat pola pikir kami jadi bertolak belakang? Apalagi masa pacaran yang singkat, yang tidak menjamin dia atau saya mengetahui perilaku masing­masing.

Kami lahir dari keluarga yang taat beragama, sehingga setiap kali ada masalah, kami selalu berdoa agar rumah tangga kami tetap utuh. Akan tetapi, makin lama, makin banyak riak menghalagi biduk rumah tangga kami. Apakah memang demikian yang namanya hidup berumah tangga? Saya merasa kehilangan teman sejati dan sahabat­sahabat saya setelah pindah ke Manado.

Seiring berjalannya waktu, saya pun jadi akrab dengan ibu mertua. Beliau melihat ada perubahan dari cara hidup saya yang salah di mata beliau. Saya menjadi wanita rumahan yang bisa mengurus suami dan anak­anak dengan baik. Tapi, setelah hubungan saya dengan keluarga suami (mertua dan ipar­ipar) harmonis, giliran kelakuan dan sifat suami yang membuat saya jenuh dan bosan.

Contohnya, kami butuh waktu berhari­hari untuk berbaikan setelah berantem. Wajarkah itu? Apalagi kalau ada masalah, saya langsung enggan melayani suami di tempat tidur. Akibatnya, saya tidak mendapat uang belanja! Apakah ada suami lain yang seperti itu? Memberi uang hanya setelah dilayani di tempat tidur? Saya bosan, setiap hari harus melayaninya. Minimal seminggu 3 kali kami berhubungan intim.

Saya dulu juga pernah bekerja di kantor, di restoran, dan di hotel, tapi selalu tidak tahan lama. Ada saja yang membuat saya harus keluar dari pekerjaan. Terakhir saya bekerja sebagai kasir sebuah restoran dan tenaga pembukuan, tapi hanya bertahan 8 bulan. Selain ada masalah di kantor, juga karena anak-anak jadi tak terurus.

Anak sulung kami hiperaktif, IQ-nya rendah sekali, sehingga tak pernah bisa konsentrasi di pelajaran. Sekarang dia kelas 3 SD, tapi belum bisa membaca dan menulis, apalagi berhitung. Ia pernah sekolah di SLB, namun Kepala Sekolah menyuruh pindah ke sekolah umum, karena masih terlalu pandai dibandingkan teman­temannya.

Saya ingin suami bisa bekerja kantoran lagi, apalagi ada tawaran dari adiknya untuk membantu di kantornya yang baru. Tapi, suami menolak, dan lebih suka berbisnis sendiri. Apalagi, umurnya sekarang sudah 48 tahun. Saya ini, kan manusia biasa juga yang tak ingin anak­anak telantar, kelak setelah saya dan suami dipanggil Yang Maha Kuasa. Itulah yang membuat saya selalu berpikir, kenapa dulu tidak menikah dengan orang yang berpendidikan lebih tinggi, atau apakah ini yang namanya jodoh?
 
Untunglah, selama berumah tangga, kami tidak pernah kekurangan. Kami selalu dibantu keluarga besar suami. Tapi, akibatnya, suami makin lebih santai. Dia pikir, toh sudah ada yang mencukupi kebutuhan rumah tangga kami selama ini. Tapi sampai kapan? Sudah 12 tahun menikah, kok, begini­begini saja. Memang, selama tinggal di kampung, kami punya mobil, meski cuma mobil pinjaman kerabat. Apakah saya orang yang terlalu banyak menuntut? Apakah sebaiknya saya berintrokspeksi? Tolong bantu saya, Terimakasih
." (D di Menado)

Jawaban:

D yang terhormat,

Daripada sibuk mencocok-cocokkan diri dengan istilah-istilah yang sering kita dengar di lingkungan, seperti banyak menuntutlah ­ introspeksilah, lebih baik bila kita belajar membuat peta (memetakan) di mana kita berada di antara sekian banyak deretan permasalahan yang terasa sedang mengitari diri kita. Saya melihat bahwa masalah utama Anda sesungguhnya ada pada kesulitan Anda untuk memilah-milah, mana yang disebut masalah, selera, keinginan, harapan dan di mana pula kenyataan-kenyataan yang ada harus diletakkan di antara semua tadi.

Semisal, Anda katakan rumah tangga Anda tidak terlalu bermasalah tetapi Anda lelah dan tidak bahagia. Anda takut masa depan karena penghasilan suami tidak tetap, tetapi Anda juga mengakui bahwa kebutuhan dasar seperti rumah dan juga mobil (pinjaman) sudah bisa Anda nikmati. Anda tidak menuntut macam-macam, tetapi toh Anda membandingkan suami dengan adik Anda dan merasa diri tidak bahagia.

Masalah, pasti ada jalan keluarnya, karena masalah adalah sesuatu yang terasakan sebagai akibat adanya kesenjangan antara harapan dan keinginan dengan kenyataan yang ada. Sementara keinginan dan harapan adalah sesuatu yang kita inginkan suatu saat akan terwujud dalam hidup ini. Selera adalah sesuatu yang terasakan bukan karena adanya kebutuhan, melainkan karena adanya keinginan (sehingga tak selalu kita butuhkan). Maka, dalam hidup, selera ini saya anjurkan untuk sering-sering kita telaah, jangan-jangan selera kita masih belum sesuai dengan kenyataan yang ada dalam diri, sehingga kalau dituruti hanya menjadikan kita sosok yang konsumtif.

Rumah dengan lantai marmer misalnya, itu selera saya untuk mendukung keindahan, tapi kalau uang tak cukup, bukankah kita bisa memikirkan, yang dibutuhkan sebenarnya apa, sih? Lantai licin mengkilap? Keramik saja cukup, kan?

Saya pernah memberi jasa pada sebuah perusahaan yang orang pertamanya adalah seorang insinyur. Setelah hubungan kami mulai akrab, saya berani bertanya padanya, darimana asal bunga segar sekeranjang penuh yang setiap pagi saya lihat ada di depan pintu beliau, kalau saya mengajar pagi dan beliau kebetulan belum datang (kalau beliau sudah datang, bunga itu lalu terangkai cantik di mejanya). Dengan riang, Ibu Boss ini mengatakan bahwa suaminyalah yang menghadiahinya bunga cantik itu. Setiap hari, lo, Bu!

Suaminya pemasok sayur mayur dan buah-buahan untuk katering di perusahaannya, yang setiap hari mengambil barang di Puncak dan menyetornya ke Jakarta. Karena itu, ia selalu bisa memperoleh bunga-bunga cantik itu, bahkan pada suatu hari di musim kemarau, saya lihat ada 5 tangkai bunga matahari.

Coba tebak, pendidikannya apa, Bu? Cuma kelas 2 SMP! Dan jangan bayangkan dia leveransir bermodal kuat, tidak sama sekali. Mobil bak terbukanya cuma satu yang dikendarainya seorang diri. Saya tidak berani bertanya lebih jauh tentang bagaimana mereka bertemu dan bagaimana pula mereka mengatasi kesenjangan pendidikan di antara mereka. Yang jelas, bila bertemu beliau dan suaminya di perkawinan atau kegiatan sosial lain, mereka tampak serasi dan si suami oke-oke saja bergaul dengan teman-teman istrinya. Tak pernah malu bercerita tentang pekerjaannya.

Sampai detik ini, saya belum pernah bertemu dengan suami yang "mempersembahkan" bunga segar setiap hari untuk istrinya seperti yang saya lihat itu, tetapi saya ingin meyakinkan Ibu bahwa cinta kasih yang kita pelihara dan kembangkan dalam ikatan yang namanya perkawinan, seyogianya memang tidak perlu dibatasi perbedaan pendidikan maupun pekerjaan yang dilakukan.

Kalau saya simak lebih lanjut, penghargaan sang istri atas apa yang dilakukan suaminya, ia nyatakan dengan menceritakan dengan tanpa beban, apa pekerjaan suaminya. Dan, kita cukup melihat sosok si Bapak untuk tahu bahwa ia juga menikmati pekerjaannya dan bangga akan apa yang ia lakukan.

Saya yakin, penghasilan istrinya pasti berlipat-lipat dibanding sang suami, tetapi Ibu Boss ini pernah berkata bahwa walaupun ia orang pertama, ia tetap saja pegawai sementara. Suaminya adalah tuan untuk dirinya sendiri Ekspresi cinta kasih pada setiap rumah tangga pasti tidak sama, jadi jangan nanti Anda malah makin tidak bahagia karena tak pernah mendapat bunga segar dari suami (saya pun tak pernah Bu, bunga plastik pun tidak! - RH). Yang penting, Anda cari tahu, dalam pemikirannya, apa yang ia maksudkan sebagai ekspresi dari rasa kasih dan sayangnya pada Anda. Tanpa pengetahuan tentang ini, tidak mengherankan kalau Anda lalu "lelah" menjalani perkawinan, karena bisa jadi, Anda tak kunjung menangkap bagaimana cara suami menyayangi dan mengasihi Anda.

Kepekaan ini akan datang bila Anda tak hanya melihat dengan mata Anda, tetapi juga dengan "mata hati" dan perasaan Anda. Cek pada diri, bilamana hati Anda tergetar saat ia melakukan sesuatu untuk Anda, saat ia terasa dekat dengan Anda, saat Anda merasa yakin benar bahwa ia sedang menyenang-nyenangkan hati Anda. Jangan katakan tidak pernah ya Bu, karena kalau demikian adanya, saya yakin perkawinan Anda sudah lama bubar.

Bila ini tidak Anda temukan, berarti ada penghalang di diri Anda. Yang pertama dan paling sering terjadi adalah harapan yang tidak realistis, artinya tidak sesuai kenyataan. Saya misalnya, suami saya "orang teknik" dari ujung rambut hingga ujung kakinya, Bu. Kalau tiba-tiba ia membawakan bunga untuk saya, barangkali malah saya akan curiga berat bahwa ia sedang mencoba menebus kesalahannya pada saya, karena saya tahu benar, bukan itu cara ia mengekspresikan kasihnya pada saya.

Jadi, tumbuhkan harapan yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Bila suami memang peternak, petani dan pengecer minyak, tentu tidak realistis kalau tiba-tiba kita harapkan ia akan bisa happy bekerja lagi di kantoran, di usianya yang hampir 50 itu, bukan?

Yang kedua, jangan membandingkan apa-apa yang ada pada diri orang lain dengan apa yang kita miliki, karena ini hampir selalu berakhir dengan perasaan buruk. Kenapa buruk? Bila kita merasa lebih baik, akan ada rasa sombong yang hinggap di dalam diri, sementara bila sebaliknya, kita lalu akan merasa gagal dan rendah diri. Berupaya keraslah untuk bahu-membahu mewujudkan cita-cita perkawinan bersama suami. Ukur keberhasilan kita dengan upaya yang sudah dijalankan disertai kemampuan yang nyata ada pada kita. Dengan demikian, Anda akan lebih mampu mensyukuri apa yang sudah ada.

Yang terakhir, berhentilah berharap bahwa hidup ini akan menjadi sesempurna seperti apa yang kita bayangkan. Rumah mewah, anak-anak yang tidak nakal, suami yang bekerja dengan jas dan dasi dan amat sayang pada istrinya yang juga tidak pernah memakai daster dan memegang sapu serta memasak, rasanya cuma ada di sinetron, Bu. Aslinya, setiap rumah pasti ada masalahnya sendiri.

Bisa saja di awal pernikahan, motivasi Anda adalah asal bisa mendapat pengganti pacar yang hilang. Tetapi, kini perkawinan sudah berjalan 12 tahun Bu. Saya, kok, lebih menyarankan tatap masa depan untuk mengupayakan ikatan yang lebih kokoh, ketimbang sibuk menoleh ke belakang.

Anak Anda perlu dibawa ke psikolog agar tahu benar, apakah IQ-nya yang terbatas atau ia punya masalah emosional, sehingga sulit konsentrasi.

Setelah Ibu berbenah diri dengan langkah-langkah diatas, saya yakin gairah untuk memperbaiki kualitas hubungan dengan suami akan bangkit kembali, sehingga komunikasi akan lebih lancar. Dan akhirnya, hubungan intim pun tak lagi terasakan sebagai pendahuluan untuk mendapat uang belanja.

Berusahalah berpijak pada kenyataan bahwa hidup Anda sekarang memang ada di Manado, sehingga hubungan harmonis dengan orang-orang di sekitar Anda perlu dibina agar kebutuhan berteman tetap bisa dipenuhi tanpa perlu lagi meratapi teman-teman masa lalu Anda masih muda. Mudah-mudahan, dengan mata hati yang lebih jernih, akan lebih banyak sisi positif dari suami, dan juga di perkawinan Anda, yang terlihat jelas. Salam sayang. *

dari:  Kompas, 12.04.2006